4 Mei 2012

Khotbah Mazmur 51:1-21


Pengakuan Dosa yang Mendatangkan Pemulihan
Oleh Sepridel



Pendahuluan
            Saudara-saudara, ketika pertama masuk Sekolah Tinggi Teologi, ada tiga kata penting yang saya catat untuk selalu diucapkan.  Tiga kata ajaib ini adalah “tolong” “maaf” dan “terimakasih”.  Kalau kita mau meminta bantuan orang lain, selayaknyalah kita mengucapkan kata “tolong”  Kita juga harus berterima kasih jika seseorang telah melakukan sesuatu sekecil apapun.  Sedangkan kita harus mengucapkan “maaf” jika kita telah melakukan sesuatu yang salah,. Atau ketika kita mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan bahkan menyakiti hati seseorang.
            Saudara, budaya minta maaf ini merupakan suatu kebiasaan yang baik.  Ketika kita menyadari bahwa kita telah melakukan sesuatu yang kurang tepat, kita harus meminta maaf.  Bahkan kita berusaha membereskan masalah itu sehingga hati kita tidak terus-menerus merasa gelisah karena memikirkan permasalahan tersebut.  Kita tentunya ingin supaya relasi kita dengan orang tersebut kembali baik sehingga hidup kita juga menjadi lebih tenang.  Kita tidak lagi dikuasai oleh  rasa bersalah, gelisah, bahkan kita tidak bisa berkonsentrasi dalam melakukan segala aktifitas kita.  Kalau dalam berelasi dengan sesama saja harus seperti itu, terlebih lagi dalam relasi kita dengan Tuhan.  Saudara, kalau kita mau jujur, bukankah seringkali kita juga melakukan apa yang tidak berkenan kepada Tuhan?  Bukankah kita pun masih sering jatuh ke dalam dosa?  Apakah kita juga merasa bersalah ketika kita telah melakukan sesuatu yang melanggar perintah Tuhan?  Sadarkah kita bahwa dosa yang kita lakukan merupakan pemberontakan kita kepada Tuhan? Setiap dosa yang dilakukan haruslah kita akui di hadapan Tuhan.  Pengakuan dosa yang jujur di hadapan Allah mendatangkan pemulihan dari Allah.  Kebenaran inilah yang diajarkan dalam Mazmur 51 ini.

I.         Pengakuan dosa dan permohonan pengampunan dari Allah (ay. 1-9, 11)
Penjelasan
            Saudara, Mazmur 51 ini merupakan Mazmur pengakuan dosa yang paling terkenal dari 7 Mazmur pengakuan dosa yang ada.  Mazmur ini merupakan mazmur pengakuan dosa Daud.  Daud bukan hanya telah melakukan perzinahan, tetapi juga merancang pembunuhan Uria, suami Batsyeba untuk menutupi dosanya.  Dosa Daud yang tampak wajar untuk dilakukan oleh seorang raja pada masa itu ditegur oleh Tuhan melalui nabi Natan. 
            Dalam 2 Samuel 12:1-7 kita dapat menemukan bahwa ketika nabi Natan datang kepada raja Daud, ia tidak langsung menegur Daud.  Natan menggunakan kisah orang kaya dan orang miskin.  Orang kaya ini merampas satu-satunya anak domba yang dimiliki oleh si miskin.  Kisah yang menggambarkan ketidakadilan ini membuat Daud sangat marah!  Secara spontan ia mengatakan bahwa orang kaya ini harus dihukum mati.  Orang kaya ini juga harus mengganti anak domba itu empat kali lipat!  Pada saat itulah nabi Natan mengatakan: “Engkaulah orang itu!”  Nabi Natan “membongkar” dosa Daud yang selama ini berusaha ia tutupi.  Lalu apa respons Daud?  Apakah ia berusaha membela diri?  Tidak saudara.  Daud berkata: “Aku telah berdosa kepada TUHAN.”  Kesadaran inilah yang menuntun Daud pada pengakuan dosa yang jujur di hadapan Tuhan.  Daud datang dengan jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk seperti yang digambarkan di ayat 19, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” Hal ini menggambarkan suatu kondisi dukacita atau kesedihan yang mendalam karena telah berdosa serta rasa gentar seseorang yang berdosa karena ia menyadari akan kehadiran Allah yang kudus.
Pengakuan dosa ini dimulai dengan pernyataan yang jujur mengenai kesadaran pribadi tentang dosa pada ay 5:  “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku”.  Bahasa Ibrani yang dipakai ialah כִּי־פְשָׁעַי אֲנִי אֵדָע (ki pesaʿay ʿani ʿeda).  Kalau kita perhatikan, ada kata ganti orang ʿani sebelum kata kerja ʿeda.  Dalam kata kerja ʿeda, sudah tercakup subjek orang pertama tunggal.  Namun, ada penambahan kata ʿani yang berarti “saya”.  Hal ini mau menunjukkan penekanan pada subyek. Pada ay 5b juga dicatat “, aku senantiasa bergumul dengan dosaku” Kedua kalimat ini mau menyatakan suatu kesadaran terus-menerus akan keberdosaannya bukan sekedar suatu kesadaran yang muncul kadang-kadang atau sekali-sekali saja.     
Pusat dari pengakuan dosa ini ada di ayat 6a “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa”  Dalam konsep orang Israel, dosa yang dilakukan kepada sesama manusia dipercaya sebagai dosa yang menentang Allah.  Pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah dimaknai sebagai dosa yang menentang pribadi Allah.  Jadi, melakukan dosa berarti melakukan sesuatu yang buruk, tidak menyenangkan, bahkan jahat di mata Tuhan!   
Kesadaran akan betapa seriusnya dosa ini membuat Daud sungguh-sungguh memohon pengampunan Allah.  Kalimat “kasihanilah aku, ya Allah” pada ay 3 mengekspresikan keinginan yang begitu kuat untuk meminta kemurahan Allah yang sebenarnya tidak pantas diterima oleh Daud.  Dalam ketidaklayakannya inilah Daud berani meminta pengampunan dari Allah karena ia tahu bahwa Allah tidak pernah berubah.  Belas kasihan, kasih setia (hesed), dan rahmat Allah yang tidak pernah berubah inilah yang memungkinkan pengampunan dosa itu terjadi.  
Ada 3 kata kerja dan 3 kata benda yang menggambarkan keseriusan permohonan pengampunan dosa Daud.  Pertama, “hapuskanlah pelanggaranku” מְחֵה פְשָׁעָי (meheh pesaʿay).  Kata “hapuskanlah” berasal dari bahasa Ibrani meheh (to blot out/ to obliterate)  Kata ini seringkali dikaitkan dengan menghapuskan nama yang tertulis dalam suatu kitab pada masa itu.  Sedangkan kata “pelanggaran” berasal dari kata Ibrani pesaʿ yang dapat diterjemahkan sebagai suatu pemberontakan, ketidaktaatan, penyimpangan, serta dengan sengaja menentang Allah.  Jadi, Daud sungguh memohon supaya kesalahan-kesalahannya dihapuskan oleh Tuhan.
Kedua, “bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku” כַּבְּסֵנִי מֵ‍עֲוֹנִי (kabeseni meʿawoni).  Kata “bersihkanlah” berasal dari bahasa Ibrani כבס kabas (to wash away).  Kata kabas ini menggambarkan kegiatan mencuci baju kotor dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam proses mencuci ini, biasanya orang menginjak-injak atau memukul-mukul pakaian kotor itu di dalam air supaya bersih.  Sedangkan kata “kesalahan” berasal dari bahasa Ibrani awon yang berarti salah jalan atau menyimpang dari jalan yang benar.  Daud ingin supaya dirinya yang kotor oleh dosa dibersihkan seluruhnya oleh Tuhan sama seperti seseorang yang mencuci pakaian kotor.  
Ketiga, “tahirkanlah aku dari dosaku” וּמֵ‍חַטָּאתִי טַהֲרֵנִי (umehatati tahareni).  Kata “tahirkanlah” berasal dari bahasa Ibrani טהר (to cleanse) yang biasanya menggambarkan pemurnian secara fisik seperti pentahiran dari penyakit (2Raj.5:10), pemurnian logam (Mal.3:3), dan pentahiran hal-hal yang najis di Bait Allah (2Taw. 29:15).  Kata tahar ini seringkali dipakai dalam konteks pentahiran dalam acara seremonial (Im. 11:32).  Hal ini disebabkan karena ketidaktahiran (uncleaness) adalah suatu hal esensial yang bisa mediskualifikasi seseorang dari partisipasinya dalam ibadah.  Orang yang tidak tahir tidak diperkenankan untuk datang ke hadirat Allah yang maha kudus.  Kemudian, kata “dosa” berasal dari bahasa Ibrani חטאת hatat (sin) yang berarti melanggar standarKata hatat ini yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pelanggaran manusia terhadap perintah Allah sebagai standar hidup.  Jadi, Daud, sebagai seorang yang tidak tahir di hadapan Allah memohon supaya Allah mentahirkan dirinya dari kenajisan dosanya sehingga ia bisa layak untuk datang ke hadirat Allah.  
Dari semua penjelasan ini, kita dapat menemukan suatu penekanan yang mau ditunjukkan oleh penulis.  Bahkan, kata-kata ini diulang lagi dalam ayat 9 dan 11.  Ketiga kata benda ini merupakan kata yang umum dipakai di PL untuk menggambarkan pemikiran dan tindakan yang jahat (Yes. 59:12).  Hal ini menunjukkan bahwa dosa dilihat secara komprehensif dalam PL sebagai suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyimpang dari jalan yang dikehendaki Allah.  Ketiga kata kerja ini menunjukkan betapa seriusnya dosa sehingga harus Allah sendiri yang membereskan dosa itu.  Hanya Allah yang bisa menghapus, membasuh, dan mentahirkan manusia dari dosa!  Oleh karena itu, Daud sungguh-sungguh memohon supaya Allah menyucikan dia dari dosa-dosanya.   
Saudara-saudara dalam Yesaya 1: 18 dikatakan bahwa “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” Selain itu, 1 Yohanes 1: 9 juga mencatat “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” Bagian firman Tuhan ini menujukkan bahwa ada jaminan pengampunan dosa dari Allah ketika kita datang mengaku dosa di hadapan Allah.  Jaminan pengampunan dosa ini menjadi suatu hal yang pasti karena pengorbanan Kristus yang sempurna di kayu salib.  Pengorbanan Kristus yang sempurna telah meredakan murka Allah atas manusia berdosa.  Pengorbanan Kristus telah membuka pintu pengampunan Allah bagi manusia berdosa.

Aplikasi
            Saudara, dalam perjalanan kita mengikut Tuhan, bukankah kita masih sering jatuh bangun dalam dosa?  Saya tidak tahu, apa yang menjadi pergumulan kita.  Mungkin ada yang bergumul dengan dosa kekuatiran, ketakutan, kecemasan, kemalasan, atau kemarahan.  Mungkin ada yang bergumul dengan dosa iri hati, kesombongan atau kemurnian hati dalam pelayanan.  Bahkan mungkin ada diantara kita yang bergumul dengan pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain atau pikiran yang kotor yang muncul dalam khayalan kita.  Saudara, mungkin dosa ini tidak diketahui oleh orang-orang di sekitar kita.  Namun, satu hal yang pasti Tuhan tahu akan hal itu.  Dosa kita adalah sesuatu yang jahat dan menjijikkan di hadapan Tuhan yang maha kudus.  Dosa kita adalah suatu penghinaan kepada pribadi Tuhan!  Kesadaran ini seharusnya membuat kita datang merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui dosa-dosa kita dengan jujur, dan memohon pengampunan Allah.  Biarlah dengan hati yang hancur dan penyesalan yang mendalam kita berkata kepada Tuhan: “Tuhan, terhadap Engkau, terhadap Engkau saja aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat.  Kasihanilah aku yang berdosa ini”  Ingatlah bahwa dosa selalu membawa kecemasan dan kegelisahan dalam hidup kita.  Namun, pengakuan yang jujur di hadapan Allah membawa kelegaan dan kebebasan.  Pengakuan dosa ini menjadi langkah awal bagi kita untuk dipulihkan oleh Allah.
 
Setelah Daud mengakui dosanya, ia memohon pemulihan dari Allah.

II.      Permohonan pemulihan dari Allah (ay. 10, 12-21)

Penjelasan
Daud memohon supaya Allah, Sang Pencipta itu merestorasi hidupnya.  “Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali!” (ay. 10). Pada ayat 10, kita bisa melihat  bahwa proses pemulihan ini dimulai dengan suatu permohonan supaya ia bisa mendengarkan sukacita dan kegirangan, juga supaya tulang yang telah Allah remukan bersorak-sorai kembali.  Ungkapan “tulang yang Kau remukan” menggambarkan penderitaan atau kesukaran serta kegelisahan secara mental dan spiritual yang disebabkan oleh rasa bersalah karena dosa yang telah dilakukan.  Daud sungguh merindukan supaya ia bisa kembali merasakan sukacita dalam bersekutu dengan Allah.  Saudara, mari kita memperhatikan ayat 12-13: Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!  Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!
            Pada ayat 12, Daud memohon supaya Allah menjadikan hatinya tahir dan memperbaharui batinnya dengan roh yang teguh.  Kata “jadikanlah” dalam ay 12a memakai kata Ibrani בָּרָא (bara’) dimana kata kerja ini hanya dipakai jika Allah sebagai Subjek.   Kata bara’ ini mengacu pada tindakan Allah yang menciptakan dan menjadikan sesuatu yang baru.  Kata ini dipakai untuk menekankan suatu permohonan transformasi hidup yang hanya bisa dilakukan oleh kuasa Allah.  Jadi, hanya Allah yang bisa memperbaharui hati manusia.  Hati di sini menggambarkan pusat dari emosi, kehendak, dan hidup seseorang.  Hati yang telah menyimpang dari jalan Tuhan harus diperbaharui supaya bisa kembali melangkah di jalan yang benar. 
Ayat 13 dilanjutkan dengan permohonan supaya Allah tidak  membuang Daud dari hadirat-Nya dan mengambil Roh Kudus dari padanya.  Dalam konsep PL, Roh Kudus hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai jabatan khusus, misalnya hakim-hakim, raja, atau nabi.  Hal ini menunjukkan bahwa Roh Kudus yang akan memampukan orang tersebut untuk melaksanakan tugas tertentu.  Roh Kudus tidak tinggal menetap dalam diri seseorang seperti konsep Roh Kudus yang diam dalam diri orang percaya di PB.  Jadi, ketika Roh Kudus meninggalkan seseorang maka itu berarti ia telah kehilangan perkenanan Allah.  Daud sungguh-sungguh memohon supaya Allah mengampuni dan memulihkan dirinya sehingga ia bisa terus merasakan hadirat Allah dan ia bisa kembali berjalan di jalan kebenaran.
Setelah Daud mengalami pemulihan dari Allah, ia berkomitmen untuk memuji Allah karena segala perbuatan-Nya.  Daud juga berjanji untuk mengajar para pemberontak tentang “jalan” Allah.  Jalan Allah di sini mengacu pada perintah atau hukum Allah yang menjadi pedoman hidup umat Tuhan. Pengajaran ini juga meliputi tentang kemurahan Allah, pengampunan, dan pemulihan Allah.  Daud ingin supaya pengalamannya mengalami pengampunan Allah dan pemulihan dari Allah juga kelak akan menjadi pelajaran bagi orang lain yang pernah jatuh ke dalam dosa.  Dengan demikian, orang-orang berdosa ini bisa mengalami pengampunan dan pemulihan sehingga mereka bisa kembali ke jalan Allah.  
Dalam Kisah Para Rasul 13:22, ketika Paulus berkhotbah di Antiokhia di Pisidia, Paulus berkata: “Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku.”  Bagaimana mungkin Daud yang pernah jatuh ke dalam dosa disebut sebagai seorang yang berkenan kepada Tuhan?  Daud bukanlah manusia yang sempurna sama seperti kita.  Namun dia mempunyai hati yang lentur, lembut  dan teachable ketika ditegur oleh Tuhan.  Ia datang merendahkan diri di hadapan Tuhan untuk mengakui dosa-dosanya.  Ia memohon pengampunan dan pemulihan dari Allah.  Hidup Daud kembali berpaut pada Tuhan.  Itulah sebabnya Daud tetap disebut sebagai orang yang berkenan di hati Tuhan. 

Ilustrasi
            Saudara, saya teringat akan pengalaman saya ketika saya mengerjakan skripsi dulu.  Hari Rabu bagi saya adalah hari skripsi sedunia sehingga saya akan off dari kerja part time di kampus dan segala aktifitas di kampus.  Sekitar 1,5 bulan sebelum deadline pengumpulan skripsi, saya berencana untuk mempercepat penyelesaian skripsi saya apalagi pada waktu itu saya juga sedang sibuk dengan Paskah Universitas dan mempersiapkan retreat untuk regenerasi pelayanan di kampus.  Saat teduh saya pada hari itu agak berbeda dengan biasanya  Kalau biasanya sate memakan waktu 1 jam, maka pada hari itu saya beri diskon 50% menjadi setengah jam saja.  Saya ingin cepat-cepat mengerjakan skripsi supaya cepat selesai.  Namun, entah apa yang terjadi dengan laptop saya hari itu, semua hasil analisa data bab 3 yang saya kerjakan tidak tersimpan di laptop.  Saya ketik lagi, di save, tetapi filenya tidak ada juga.  Kepala saya jadi pusing saudara! 
            Hari Kamis jam 9 pagi adalah jadwal saya bertemu dengan dosen pembimbing.  Rupanya hari itu juga kacau.  Mulai dari file di USB yang error sehingga ga bisa nge-print, sampai gagal ketemu dosen karena ia sedang keluar kota!  Lengkaplah penderitaan saya saudara!  Seketika itu juga saya merasa Tuhan sedang menegur saya.  Tuhan seperti berkata kepada saya: “Lihat, semua yang kamu perjuangkan dari kemarin sia-sia bukan?  Apakah kamu pikir, waktu yang kamu berikan kepada-Ku akan mengurangi keefektifanmu dalam menulis skripsi?  Memangnya siapa yang memberikan hikmat?  Sia-sialah setiap usahamu tanpa bergantung kepada-Ku!”
Saudara, tanpa saya sadar saya telah mengandalkan diri sendiri dan akhirnya menomor duakan Tuhan.  Waktu pribadi bersama Tuhan seolah-olah hanya akan mengurangi keefektifan saya dalam mengerjakan skripsi di hari itu.  Saya bersyukur bahwa Tuhan menegur dosa saya yang telah mengabaikan Tuhan dan mengandalkan diri sendiri.  Saya mengakui kesalahan saya di hadapan Tuhan.  Saya memohon supaya Tuhan mengampuni dosa saya.  Saya berkomitmen bahwa saya akan terus belajar untuk tidak mengorbankan waktu-waktu pribadi saya dengan Tuhan walaupun kerjaan saya banyak atau deadline tugas-tugas semakin mendekat.  Waktu bersama dengan Tuhan bukanlah penghambat keefektifan saya dalam melakukan sesuatu.  Justru hal inilah yang membuat saya lebih efektif dalam belajar atau melakukan sesuatu.  Jadi, tidak boleh ada alasan yang serasional apapun untuk mengabaikan waktu pribadi bersama Tuhan!

Aplikasi
            Saudara, kita bersyukur bahwa Roh Kudus yang ada di dalam diri kita tidak keluar masuk dari hidup kita ketika kita berdosa.  Justru Roh Kudus inilah yang akan mengingatkan kita ketika kita melakukan sesuatu yang kurang tepat.  Peringatan maupun teguran atas dosa kita itu mungkin melalui hati nurani kita, melalui orang-orang di sekitar kita, melalui peristiwa yang kita alami, atau justru melalui firman Tuhan yang kita baca atau renungkan.  Setiap hari kita berinteraksi dengan kebenaran firman Tuhan, baik melalui saat teduh maupun perkuliahan.  Pertanyaannya adalah apakah kebenaran itu menjadi cermin yang mengoreksi segala ketidakberesan dalam hidup kita?  Ataukah semua hal itu cuma menambah wawasan kita tanpa menyentuh hati kita?  Mari kita berdoa supaya kita diberikan hati yang rela dikoreksi oleh Tuhan melalui berbagai sarana yang Ia pakai untuk menegur kita.  Jangan sampai kita memiliki hati yang bebal sehingga kita menjadi kebal dan mengabaikan teguran Tuhan!  Jangan sampai hati nurani kita menjadi dingin dan beku sehingga kita tidak bisa lagi mendengar suara Tuhan.  Mari kita memohon supaya Tuhan memperbaharui hati kita setiap hari sehingga kita bisa hidup dalam kebenaran.  Supaya apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang diperkenan oleh Tuhan dan yang menyenangkan hati-Nya.  Saudara, ingatlah bahwa dosa yang masih kita sembunyikan dan yang belum kita akui di hadapan Tuhan hanya akan membawa kegelisahan bahkan rasa frustasi yang mendalam di hidup kita.  Hanya setelah kita mengakui di hadapan Tuhan kita akan akan merasa lega dan kembali merasakan sukacita yang sejati.  Hanya setelah kita mengaku barulah kita bisa meminta Tuhan memperbaharui hati kita sehingga kita sungguh bersukacita berjalan kembali di jalan Tuhan.

Penutup
            Saudara, kita perlu menyadari bahwa sebagai anak-anak Tuhan kita tidak kebal terhadap dosa.  Dalam proses pengudusan yang terus berlangsung seumur hidup, kita masih bisa jatuh ke dalam dosa.  Kita masih bisa melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.  Setiap dosa yang kita lakukan merupakan pemberontakan kita kepada Tuhan.  Fakta inilah yang harus selalu kita sadari dan waspadai.  Kalaupun kita jatuh ke dalam dosa, marilah kita datang dengan hati yang hancur dan berduka di hadapan Tuhan serta mengakuinya dengan jujur.  Marilah kita memohon pengampunan Tuhan.  Tuhan yang penuh rahmat dan belas kasihan itu akan mengampuni dan menyucikan kita dari segala dosa kita.  Marilah kita memohon supaya Tuhan memperbaharui hati dan pikiran kita sehingga kita bisa kembali menikmati sukacita dalam berelasi dengan Tuhan.  Hanya dengan hati yang terus menerus diperbaharui dan dimurnikan oleh Tuhan kita bisa hidup di jalan Tuhan dan tidak menyimpang dalam dosa.  Biarlah apa yang tercatat dalam mazmur 119:11 menjadi doa kita :“Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau”  Kalaupun kita terpeleset atau jatuh ke dalam dosa, kita harus ingat bahwa tangan Tuhan selalu terbuka untuk memberikan pengampunan dan pemulihan bagi kita.  Dengan demikian kita hidup sebagai anak-anak Tuhan bahkan hamba-hamba Tuhan yang memperkenan Tuhan. 

Amin

3 Mei 2012

Khotbah Yesaya 58:1-14


Tertipukah TUHAN?
Oleh Daniel



Pendahuluan
Saudara, setiap kita rasa-rasanya pernah “tertipu.”  Pengalaman ketika “tertipu” sangat tidak menyenangkan.  Pengalaman itu akan terasa sangat menyakitkan jika si penipu adalah someone yang paling kita cintai atau hamba Tuhan yang sangat kita kagumi. 
Saudara, mungkin video berikut ini pernah atau akan membuat kita tertipu. Mari kita perhatikan. (tampilkan video, pause pada menit 01:01).  Saudara, percayakah saudara jika saya katakan bahwa “wanita” ini sebenarnya adalah laki-laki? Mari kita lihat kelanjutkannya:
(lanjutkan sampai menit 02:49). 
Uniknya saudara, tipuan yang dilakukan oleh Bell Nuntita bukannya berdampak menyakitkan tetapi justru memukau banyak orang.  Meskipun dilahirkan sebagai seorang laki-laki, namun malam itu Nuntita tampil sangat cantik, melebihi kecantikan banyak wanita asli.  Suara ke”wanita”annya pun lumayan OK.  Luar biasa sekali.  Saudara, apa yang dilakukan Nuntita merupakan contoh kejeniusan manusia pada umumnya.  Apa maksudnya? Maksudnya adalah pada umumnya manusia begitu pintar “memoles” bagian luar dirinya sehingga bagian yang sebenarnya tertutup rapi.  Bahkan, saking pintarnya manusia “memoles,”, ia merasa dapat menipu Tuhan.

Penjelasan
Saudara-saudara, inilah yang dilakukan oleh bangsa Israel sebagaimana dinyatakan di dalam teks bacaan kita.  Israel dengan sangat jenius memoles ibadahnya sedemikian rupa hingga tampak sangat religius.  Tujuannya supaya Tuhan dapat “tertipu” dan akhirnya memberkati mereka.  Tetapi tertipukah Tuhan?
Kalau kita perhatikan ay. 3, disana Israel melontarkan complaint: “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?”  Ini adalah sebuah complaint yang sifatnya menuntut dan keluar dari hati yang kecewa.  Saudara, sebenarnya complaint ini sangat wajar kalau kita hanya memperhatikan ay. 2.  Betapa tidak?  (1) Israel dikatakan mencari Tuhan setiap hari.  (2) Israel suka untuk mengenal segala jalan Tuhan (secara literal: Israel begitu ingin sekali/begitu berhasrat menyelidiki jalan Tuhan. (3) Israel menanyakan hukum-hukum yang benar.  Nah, di sini, frasa “hukum-hukum yang benar” sangat menarik.  Frasa ini adalah hasil penggabungan dua kata indah di dalam Alkitab, yang hanya ada 5x saja di Alkitab dan digunakan untuk menyatakan kesungguhan dan minat untuk belajar – Mzm 119:7, 62, 160, 164.  Kedua kata ini menggambarkan karakter Allah, dan dapat diterjemahkan hampir sama, yaitu: hukum, keadilan, kebenaran, kejujuran. Sekarang kedua kata ini digabung. Ini menunjukkan bahwa Israel sungguh-sungguh berminat mempelajari hukum-hukum yang benar-benar benar,  hukum-hukum yang benar-benar adil.  Dengan kata lain Israel mempelajari Allah sendiri.  Keren , bukan? (4) Israel suka mendekat menghadap Allah.  (5) Israel bahkan Berpuasa dan merendahkan diri. Dalam konteks Yesaya 58, puasa diekspresikan dengan “jiwa yang merana dan hati yang terluka.”
Coba bayangkan seorang saudagar kaya yang setiap harinya berpakaian ungu dan berpesta pora kini mengenakan pakaian compang camping, meletakkan abu di atas kepala dan berbaring di tanah serta meraung-raung dalam tangisan pedih.  Di dalam kasus Ezra (Ezra 9:3-4), ia bahkan mengoyakkan pakaian dan jubahnya, mencabut rambut kepala dan janggutnya dan duduk tertegun sampai petang.  Itulah ritual ibadah Israel: setiap hari mencari Tuhan, bergairah menyelidiki segala jalan Tuhan, menanyakan hukum-hukum yang benar-benar benar, berhasrat mendekat menghadap Allah, berpuasa dan merendahkan diri di hadapan Tuhan.  Hebat dan luar biasa: ibadah luarnya tampak begitu sempurna, memukau bagaikan “si cantik” Nuntita ketika bernyanyi dalam suara soprannya.  Tetapi, apakah Allah seperti 3 juri TGT yang meluluskan Nuntita? Tertipukah Allah dengan tampak luar?
Saudara, suatu saat ketika sedang ngemil, ada seekor semut yang kesasar di cemilan saya.  Saya mengambil semut itu dari cemilan dan menaruhnya sedikit jauh dari cemilan tersebut.  Ia dalam keadaan terluka.  Beberapa menit kemudian saya terkejut ketika melihat kaget ada 5 ekor semut lain sedang menggotong temannya yang terluka itu.  Dalam imajinasi saya: “Oh, pasti akan dibawa ke RSS—Rumah Sakit Semut.”  Saudara, kelima semut itu begitu tekun dan rela menggotong temannya yang terluka sekalipun mereka juga bisa jadi akan terluka, atau bahkan kehilangan nyawa.  Saudara, dibandingkan semut tadi, tampaknya ibadah Israel memang memukau, tetapi apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda.  Bukannya “menggotong” sesama mereka yang miskin, lapar, telanjang atau tidak punya rumah, umat Israel justru saling berbantah dan berkelahi, tidak semena-mena dan menindas kaum lemah.  Kayaknya Israel perlu belajar dari semut.  Sampai di sini kesimpulan yang kita peroleh adalah bahwa Israel ternyata tidak mengenal Tuhannya dengan benar. 
Namun demikian, kasih Tuhan Allah kita begitu besar.  Meskipun mengecam dosa umat-Nya. Allah juga memberitahukan kepada Israel bagaimana ibadah yang dikehendaki-Nya, bahkan menjamin pemberian berkat bagi yang melakukannya.  Kalau kita membandingkan puasa yang dikehendaki Allah di ayat 6-7 dengan ibadah yang benar menurut Yesus di Matius 25:35-36, kita akan menemukan kesamaan yang menarik, yaitu: “Beri makan yang lapar; beri tumpangan yang miskin; beri pakaian yang telanjang; peduli dan kunjungi yang kesepian.”  Saudara, ibadah bukan hanya masalah keintiman dengan Tuhan.  Ibadah juga berarti akrab dengan sesama; mengasihi Tuhan lebih dari apapun dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.  Ibadah yang benar bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Tuhan, melainkan juga soal  hubungan pribadi dengan sesama.
Firman Tuhan di dalam Yakobus 1:27 menyebutkan: “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.”  Dengan demikian, Allah seakan-akan ingin berkata: “Bohong kalo kalian berkata beribadah kepada-Ku tetapi kamu tidak peduli kepada orang lapar, miskin, telanjang, dan kesepian.”  Hal serupa dapat ditemukan di dalam 1 Yohanes 4:20: “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”

Ilustrasi
Saudara, saya pernah mendapatkan kesempatan melayani di sebuah kota bersama seorang pengusaha.  Pelayanannya adalah membagikan “roti dan aqua gelas” kepada para gelandangan dan pengemis yang ditemui di jalan. Biasanya setelah roti diberikan, kami memegang pundak mereka sambil mengucapkan kalimat:“Pak, ini berkat dari Gusti Yesus. Gusti Yesus sayang sama kita, Gusti Yesus sayang Bapak.”  Kalau responnya baik, kami menceritakan kepadanya karya Yesus yang mati disalib karena dosa manusia, dan jalan keselamatan yang diberikan kepada siapa saja yang percaya kepada-Nya. 
Nah, suatu kali saya mendapatkan pengalaman yang menarik.  Diantara “langganan” kami, ada seorang bapak yang unik.  Waktu pertama kali bertemu dengan bapak itu, ada perasaan jijik dalam hati saya karena bapak itu kena kusta.  Ketika mendekatinya  dan memberikan “paket berkat” kepadanya, saya ogah-ogahan dan hampir tidak punya niat untuk memberi.  Saya terpaksa ngasih karena pengusaha yang mengajak saya meminta saya untuk memberikan paket kepada si pengemis kusta.  Sekembalinya dari pelayanan malam itu, saat berdoa sebelum tidur, Tuhan menegur saya dan menunjukkan betapa borok, busuk, dan kustanya hati saya; penuh kepura-puraan dan kepalsuan.  Malam itu saya tidur sambil membatin: “Kayaknya saya  munafik deh.”
Puji Tuhan, Allah itu baik.  Dua minggu kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan si bapak ituSaya ingat, malam itu dengan bersemangat saya menawarkan diri untuk memberikan roti kepada si pengemis.  Tetapi dasar manusia, ketika turun dari mobil dan berjalan mendekat, saya menjadi takut lagi.  Meskipun masih jauh, bau kustanya sudah sangat menyengat.  Pasti kustanya semakin parah.  Sambil melangkah, dalam hati saya berdoa: “Tuhan, bagaimana ini. Koq jadi takut begini? Tolong saya, Tuhan, supaya saya bisa mengasihi dengan tulus.”  Saudara, ketika pengemis kusta tersebut menyadari kedatangan kami, saya merasa senang.  Sang pengemis pasti akan menerima paket dengan sukacita, dan saya akan pulang tanpa rasa bersalah lagi.  Tetapi alangkah terkejutnya ketika saya mendekat, ia berteriak: “Makasih dik.  Gak usah.  Gak usah dekat-dekat.  Pergi saja. Saya sangat bau. Tolong pergi saja.” 
Oh Saudara, mendengar itu saya hampir menangis.  Di saat yang sama dengan keluarnya kalimat si pengemis kusta, Tuhan sepertinya berbicara kepada saya: “Coba lihat dirimu.  Bukankah kamu yang seharusnya mengatakan itu kepada Saya.  Bukankah sesungguhnya kamulah yang bau; kamulah yang berpenyakitan; kamulah yang kotor.  Mengapa kamu selama ini merasa layak mendekat kepada-Ku?  Mengapa selama ini kamu merasa sangat hebat ketika demi menjalani panggilanmu, kamu rela meninggalkan pekerjaan, karir dan impianmu?” 
Saudara, malam itu, ketika roti sudah diberikan, saya memegang tubuh kusta yang dibalut selimut kusut itu dan berdoa untuk dia.  Saat ini saya tidak tahu apakah bapak itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi satu hal yang pasti adalah: bapak pengemis kusta itu telah dipakai Tuhan menjadi berkat bagi saya.  Melalui pelayanan sosial yang sederhana itu, Tuhan mengizinkan saya merasakan apa artinya ucapan Yesaya: Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar.  Saya sekarang mengerti apa maksud “terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.”  Saya mengalami kekuatan yang dibaharui dan hati yang dipuaskan oleh TUHAN di tanah yang kering.”  Melalui pelayanan sosial yang sederhana itu, saya diajarkan bagaimana menjadi seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.”

Aplikasi
              Saudara, perbedaan yang paling jelas antara kita dengan orang Israel adalah kenyataan bahwa kita hidup di zaman, budaya dan cara beribadah yang berbeda dengan mereka.  Akan tetapi, bukankah ritual yang kita miliki persis sama?  Kita berusaha bersaat teduh setiap hari, menyelidiki segala jalan Tuhan, berpuasa, berdoa dan merendahkan diri.   Namun demikian, seperti orang Israel, di sekeliling kita ada banyak orang miskin, terlunta, butuh bantuan, dan orang-orang yang memupunyai banyak persoalan?  Inilah saatnya bagi kita untuk bertanya: “Apakah di hadapan Tuhan saya menampilkan kepalsuan?  Saya punya pelayanan yang banyak, padahal hati saya penuh borok, busuk dan berpenyakit kusta?  Saya punya banyak pelayanan, tetapi tidak memiliki belas kasihan sebagaimana telah ditunjukkan Tuhan kepada kita? Apakah selama ini saya seperti Israel, mencoba menipu Tuhan dengan tampilan luar ibadah saya?  Sepertinya saya mengasihi Tuhan padahal sebenarnya tidak peduli terhadap sesama? 

Penutup
Saudara-saudara, hari ini Firman Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak mungkin tertipu! Karena itu, mari tanggalkan kepalsuan dan kenakan ibadah yang murni.  Jalinlah relasi intim dengan Tuhan dan tunjukkan kepedulianmu kepada sesama.  Mari kita mulai dengan satu tindakan kasih hari ini.  Mari kita peduli dan berbagi dengan sesama yang Tuhan tempatkan di dekat kita.  Jaminan berkat dan penyertaan Tuhan akan menjadi bagian kita.  Kiranya Roh Kudus menolong kita semua. 

Amin

Khotbah Mazmur 100

Menikmati Allah dalam Ibadah
Oleh Franky Boentolo



Pendahuluan
Suatu kali saya datang berbakti ke sebuah gereja.  Pulang gereja, saya merasa sangat kecewa dan kesal karena saya merasa tidak dapat menikmati ibadah tersebut.  Apa sebabnya?  Pertama, pemimpin liturgisnya bukan hanya monoton, tetapi tidak bisa menciptakan alur ibadah yang baik.  Kedua, musik yang mengiringi terasa gaduh dan tidak menyatu.  Ketiga, sound system-nya beberapa kali mengalami gangguanKeempat, khotbah yang disampaikan tidak sesuai dengan amanat teks Alkitab.  Kelima, ada anak-anak kecil yang berkeliaran semaunya.  Semuanya menjadikan saya tidak bisa fokus merasakan kehadiran Allah di dalam ibadah itu. 
Yang aneh, ketika saya masih bersekolah di sekolah Kristen,  di masa itu seharusnya saya tidak bisa menikmati ibadah karena saya belum menjadi orang percaya. Namun yang terjadi adalah kebalikannya.  Meskipun awalnya saya kurang suka mengikuti kebaktian karena paksaan sekolah, lama kelamaan saya bisa menikmatinya juga.  Bahkan, dari ibadah-ibadah tersebut saya merasakan kehadiran Allah-nya orang Kristen.  Selain melalui pelajaran agama Kristen, ibadah-ibadah inilah yang turut berperan dalam menggerakkan saya untuk menjadi orang Kristen. 
Ketika membandingkan kedua pengalaman tersebut, saya lalu berpikir: “Apakah semakin lama saya menjadi orang Kristen, semakin lama belajar Alkitab dan diperlengkapi untuk melayani, semakin tinggi pula standar yang harus saya pasang terhadap mutu suatu ibadah, sehingga pada akhirnya saya semakin sulit menikmati ibadah?”  Saudara, mungkin perasaan seperti itu juga ada pada sebagian dari saudara-saudara?  Saudara jarang bisa menikmati ibadah. Sering kali pulang ibadah menggerutu tentang musiknya. Liturgosnya, atau khotbahnya. Akhirnya, Saudara jarang mendapat berkat dalam mengikuti ibadah.
Tentu saja, hal seperti itu perlu kita ubah. Kita perlu kembali mengerti apa yang Alkitab ajarkan tentang sikap yang seharusnya kita miliki dalam beribadah. Mazmur 100 mengajarkan bahwa di dalam beribadah kita harus kembali kepada standar yang benar, yakni “menikmati atribut Allah”
Nah, apa yang dimaksudkan dengan atribut Allah?  Atribut Allah adalah sifat-sifat yang melekat pada pribadi Allah.  Atribut Allah dinyatakan melalui tindakan-Nya di dalam dunia dan di dalam hidup kita.  Atribut Allah tidak berubah sampai selama-lamanya.  Contoh atribut Allah adalah kasih-Nya, kesetiaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan sebagainya.  Supaya kita bisa menikmati atribut Allah dalam ibadah, ada dua sikap yang harus kita miliki ketika datang beribadah.

I.   Mengingat atribut Allah melalui pengalaman masa lalu (past)

Penjelasan
Bila kita menyelami dunia orang Israel di masa lalu, pengalaman rohani mereka sungguh luar biasa.  Ketika keluar dari Mesir, tidak ada bangsa lain yang mengalami tuntunan tangan Allah yang kuat dan yang mengerjakan hal-hal spektakuler.  Ketika akan memasuki tanah Kanaan, sulit diterima dengan akal sehat bahwa bangsa yang kecil ini dapat mengalahkan bangsa-bangsa lain yang lebih banyak dan kuat secara militer, jika bukan karena Allah sendiri yang berperang bagi mereka.  Karya Allah bagi Israel pada zaman PL mencapai puncaknya ketika kerajaan Israel dipimpin oleh Daud dan dilanjutkan oleh Salomo.  Zaman tersebut sering dipakai sebagai acuan di kemudian hari ketika umat Israel mengharapkan datangnya zaman seperti itu kembali.  Gambaran latar belakang seperti inilah yang berusaha ditunjukkan di dalam Mazmur 100, yang kemungkinan dituliskan ketika Israel ada dalam masa pembuangan. 
Di ayat 1b dan 2 tertulis, “Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Di sini ada tiga kata kerja yang masing-masing dikaitkan dengan kata sifat:  bersorak-sorak, beribadah, dan datang. Ketiga ungkapan ini menunjukkan suasana perayaan.  Ayat 4 dan 5 tertera, “Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.” Ini mempunyai beberapa referensi ayat paralel yang mengacu kepada memori akan peristiwa yang sangat bersejarah, yaitu ibadah [penahbisan] Bait Allah.
Yang menarik adalah bahwa pemazmur menyampaikan ungkapan-ungkapan perayaan itu tidak hanya berdasarkan keadaan yang dirasakan pemazmur secara spontan dalam ibadah.  Ayat 3 yang menyatakan, “Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya” memberikan dasar ungkapan perayaan itu, yaitu pada atribut Allah yang telah dialami. Apa maksudnya?
Pertama, Yahweh Pencipta itu sungguh-sungguh menjadi Allah bagi bangsa Israel – Ia bukan salah satu dari dewa-dewa yang tidak ada gunanya, tetapi Allah yang sungguh-sungguh hidup.  Kedua, bangsa Israel menjadi bangsa yang bukan hanya diciptakan Allah sendiri, tetapi juga dipilih-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak bangsa.  Ketiga, bangsa Israel mengalami penyertaan Allah sebagai gembala mereka. 
Ketiga hal tersebut menjadi alasan bagi Israel untuk melakukan ibadah yang berfokus pada menikmati Allah dan semua atribut-Nya.  Tidak ada alasan bagi Israel untuk tidak mengenal dan mengalami Allah.  Pada waktu umat Israel mendengar panggilan ibadah (1b-2), mereka mengerti bahwa mereka akan mengingat kembali dan merayakan atribut Allah yang telah mereka alami.  Sikap yang sama harus kita miliki ketika kita datang beribadah, yaitu mengingat pengalaman kita bersama Allah di masa lalu untuk dinikmati di dalam ibadah.

II.   Mengimani atribut Allah lewat janji-Nya akan masa depan (future)

Penjelasan
            Kita sudah melihat bagaimana agungnya suasana ibadah yang dimaksudkan dalam Mazmur 100.  Namun ada hal lain lagi yang sangat menarik jika kita memperhatikan konteksnya di dalam kanon kitab suci.  Mazmur 100 ada di dalam kumpulan kitab keempat (nomor 90-106) dari lima kumpulan kitab yang ada di seluruh Mazmur. Apa maksudnya?  Sebagian ahli mencoba merangkai kelima kumpulan kitab Mazmur ke dalam suatu alur linier menurut sejarah perjanjian takhta Daud.  Kitab pertama (1-41) berbicara mengenai pertentangan Daud dengan Saul, yakni sebelum kerajaan Daud berdiri.  Kitab kedua (42-72) membahas kehidupan kerajaan Daud yang telah berdiri.  Kitab ketiga (73-89) membahas periode kritis ketika Asyur menggempur Israel.  Kitab keempat (90-106), tempat Mazmur 100 terletak, merefleksikan masa ketika Israel dibuang.  Barulah pada kitab kelima (107-150) orang Israel merayakan kembalinya mereka dari pembuangan dan nubuatan akan zaman yang baru.  Jadi, bisa dikatakan bahwa Mazmur 100 ditulis dalam keadaan yang paling terpuruk, yaitu ketika Israel menjalani hukuman di dalam pembuangan.  Ini adalah suatu zaman ketika mereka sesungguhnya tidak bisa menikmati ibadah sebagaimana yang pernah mereka lakukan sebelum dibuang (bdk. Mzm. 137:1-4).
Hal ini juga bisa kita bandingkan dengan judulnya: “Mazmur untuk korban syukur.”  Seorang penafsir mengatakan bahwa karena judul Mazmur ini singkat, yaitu hanya “untuk korban syukur” dan tidak secara spesifik mengacu pada konteks “untuk perayaan kembalinya tabut Tuhan,” atau “untuk acara penahbisan Bait Suci”, maka kemungkinan Mazmur ini adalah untuk dapat dipakai kembali di dalam ibadah yang lain.
Lebih jauh lagi, bila kita perhatikan catatan kaki di dalam Alkitab TB, kita akan mendapatkan ayat-ayat referensi yang berasal dari kitab Tawarikh, yakni 1Taw.16:34 dan 2Taw. 5:13.  Meskipun kedua ayat ini berbicara tentang perayaan, tetapi perspektifnya sejalan dengan kumpulan kitab keempat Mazmur, yaitu ditulis sebagai suatu kilas balik (flash back) dari pembuangan untuk mengingatkan umat Israel yang sedang dalam pembuangan akan pengharapan yang didasarkan kepada janji Allah. 
Dengan demikian Mazmur 100 ini di dalam konteksnya berfungsi  memberikan kekuatan dan penghiburan.  Kekuatan dan penghiburan ini bukan karena suasana atau cara menyanyikannya, tetapi didasarkan pada atribut Allah yang dinyatakan melalui janji-janji-Nya.  Janji-janji ini kembali diingat dan diimani dalam ibadah.  Janji-janji inilah yang menjadi sumber kepuasan bagi setiap orang yang mengikuti ibadah.  Jikalau atribut Allah yang terkait dengan pengalaman masa lalu (past) dirayakan kembali dalam ibadah, maka atribut Allah yang terkait dengan janji masa depan (future) diimani kebaikannya.
Kita yang hidup di zaman setelah Perjanjian Lama memiliki standar ibadah yang lebih tinggi.  Di dalam Wahyu pasal 4 dan 5 dilukiskan penglihatan mengenai keberadaan Allah di surga.  Pasal 4 berbicara tentang Allah Bapa, sedangkan pasal 5 berbicara tentang Kristus.  Keduanya mempunyai pola yang sama, yaitu didahului dengan pemaparan segala atribut Allah, lalu diikuti dengan pujian dan penyembahan kepada-Nya.
Pasal 4 menceritakan Allah Bapa yang dimuliakan karena pekerjaan tangan-Nya yang menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya.  Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep yang dipahami oleh orang PL.  Namun pasal 5 berbicara mengenai Kristus yang menebus kembali ciptaan yang telah jatuh dalam dosa sehingga kita mempunyai gambaran akan atribut Allah yang lebih luas dari yang dimiliki orang-orang di zaman PL.  Hasilnya adalah puji-pujian yang lebih mulia dan agung. 
Kita yang hidup saat ini seharusnya jauh lebih bisa menikmati Allah dengan segala atribut-Nya di dalam ibadah.  Bukankah seluruh hidup kita adalah bukti nyata akan karya Allah di dalam Kristus dan karena itu harus memuliakan Dia dengan seluruh hidup kita?  Bila Mazmur 100:3 menyebut Allah sebagai gembala, bukankah seharusnya kita jauh lebih mengerti dari pemazmur karena kita mengenal Kristus Sang Gembala yang baik (Yoh. 10:11)?  Bukankah janji-janji di dalam Perjanjian Lama mencapai kesempurnaan di dalam Perjanjian Baru?

Aplikasi
Saudara-saudara, bagaimanakah dengan kita sekalian? Apakah kita sudah menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh menikmati ibadah kita?  (1)  Apakah di dalam ibadah kita selalu berharap akan khotbah yang lucu?  Jika demikian, maka yang kita inginkan belum sampai kepada intinya, yaitu menikmati atribut Allah, tetapi masih berada di seputar aktivitas ibadah yang menghibur (2)  Jika kita mendapatkan kesempatan melayani dalam ibadah, apakah usaha yang terbaik diarahkan agar atribut Allah dapat dinikmati dengan sungguh-sungguh? Jangan-jangan kita berusaha melayani yang terbaik hanya untuk memperlihatkan perfomance.  Jika demikian, maka kita sebenarnya sedang menghambat jemaat untuk menikmati Allah, yaitu dengan cara menyedot perhatian mereka untuk menikmati perfomance kita.  (3)  Pada waktu kita menyusun acara, kita berupaya agar acara tersebut menarik dan dapat dinikmati.  Namun apakah tujuannya itu hanya untuk memberi suasana yang baru, atau sungguh-sungguh mengarahkan acara sedemikian rupa supaya jemaat tidak terhalang untuk menikmati Allah dalam ibadah? 
Jika kita mendapati diri kita tidak fokus pada atribut Allah, maka kita harus berhati-hati karena mungkin kita sedang menempatkan sensasi sebagai pusat kenikmatan dalam ibadah.  Sensasi ini mudah dicari orang, tetapi sesungguhnya menyesatkan setiap orang Kristen yang beribadah, karena menawan mereka untuk tidak menikmati Allah itu sendiri dengan segala atribut-Nya.  Dapat dikatakan sensasi ini bersifat present, tanpa perlu kita repot-repot mengingat yang lalu (past), maupun menunggu hingga masa depan (future).
Mungkin Saudara berpikir, mengapa kita tidak boleh menikmati ibadah hanya pada saat ibadah itu berlangsung, tetapi juga harus mempertimbangkan masa lalu dan masa depan?  Ada beberapa alasan.  Pertama, kita harus berpikir bahwa jika kita seperti itu, apa bedanya kita dengan orang-orang non-Kristen yang juga datang beribadah tanpa memiliki pengalaman dan tanpa mengetahui janji-janji Allah?  Mereka juga menikmati ibadah karena suasananya enak, meskipun sesungguhnya tidak memuliakan Allah itu sendiri.  Kedua, keadaan masa kini selalu terkait dengan masa lalu dan masa depan.  Misalnya, Saudara tidak akan mengerti bila saya hanya berkata “Saya saat ini senang.”  Saudara baru bisa memahami perkataan saya bila tahu apa yang saya alami (misalnya saya tadi mendapatkan kabar baik) atau yang saya harapkan (misalnya akan makan enak).  Jika kita berkata bahwa kita bisa menikmati ibadah tanpa ada konteks masa lalu maupun masa depan, maka sebenarnya kita tidak sedang menikmati Allah, tetapi sekadar menikmati suasananya itu sendiri.  Oleh sebab itu, kita harus kembali berfokus kepada atribut Allah itu sendiri, baik melalui pengalaman masa lalu, maupun janji akan masa depan.
Nah, kalau begitu kita kembali kepada permasalahan yang saya kemukakan di awal, “Bolehkah kita menetapkan standar yang tinggi di dalam ibadah?”  Jawabannya adalah “boleh,” jika dapat membantu orang menikmati ibadah.  Karena atribut Allah sangat luar biasa, maka wajar bila kita juga memberikan yang luar biasa di dalam ibadah.  Namun jawabannya adalah “tidak boleh,” jika standar yang tinggi itu dapat mengalihkan orang dari atribut Allah kepada sekadar sensasi yang dinikmati dalam ibadah.
Untuk itu, ada dua sikap yang harus dihindari dalam ibadah, yaitu spontan dan instan.  Pertama, spontan berkaitan dengan sikap bertindak tanpa mau memproses lebih dahulu.  Misalnya, ketika berkata-kata kita seharusnya berpikir dahulu apa yang akan kita katakan, tetapi orang yang spontan akan langsung mengeluarkan kata-kata tanpa memikirkannya dulu.  Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, maka kita tidak mau repot-repot mengingat pengalaman yang lalu, tetapi langsung mau menikmati ibadah.  Hal ini tentu akan menyeret kita untuk menikmati sensasi ibadah saja.   Kedua, instan berkaitan dengan keinginan mendapatkan hasil tanpa mau menunggu lama.  Contohnya, ketika menyeduh mie instan, kita ingin hanya menunggu sebentar, tetapi mienya siap dimakan.  Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, janji-janji Allah akan kita abaikan apabila kita tidak merasakan dampaknya pada saat kita beribadah itu juga.  Kita keluar dengan tidak membawa manfaat dan hanya merasakan sensasi ketika ibadah berlangsung.  Kedua sikap ini adalah musuh yang menghambat kita untuk bisa menikmati ibadah.

Penutup
Sebagian orang mengatakan bahwa manusia cenderung mencari hal-hal yang dapat memberikan sensasi mistis.  Tidak mengherankan bila orang yang tidak mengenal Allah dapat menganggap sebuah benda, waktu, tempat atau ritual tertentu sebagai hal yang sakral atau kudus.  Fenomena yang hanya sekilas dapat mengeramatkan hal-hal tersebut.  Bagi kita orang percaya, mereka seperti orang-orang bodoh yang melakukan tindakan bodoh – mereka mengeramatkan atau menyembah sesuatu yang kita tahu bukanlah Allah.  Namun bila mereka tahu bahwa orang Kristen telah menemukan Allah yang sejati tetapi tetap beribadah dengan sikap sembarangan dan tidak bisa menikmatinya sungguh-sungguh, bukankah mereka sangat berhak untuk mengatakan bahwa kita lebih bodoh dari mereka. 
Suatu kali saya ikut dengan seorang penginjil untuk berkhotbah di sebuah SMA Kristen.  Ibadah itu dipimpin oleh salah seorang guru mereka.  Lalu sang penginjil tersebut diundang untuk berkhotbah.  Di sepanjang khotbah, sang penginjil cukup kesulitan dalam menjaga agar suasana tetap tenang.  Tidak jarang dalam berkhotbah ia berhenti sesaat untuk menegur anak-anak yang mengobrol.  Seusai khotbah, guru yang menjadi pemimpin ibadah kembali maju dan berbicara.  Ia tampak sangat emosional.  Sang guru tidak hanya menegur tetapi memaki anak-anak itu.  Dia membandingkan mereka yang Kristen dengan mereka yang bukan Kristen.  Ia mendapatkan bahwa anak-anak yang bukan Kristen ternyata terlihat beribadah dengan baik (memperhatikan dan tidak mengobrol).  Hal ini menunjukkan betapa memalukannya orang-orang Kristen di hadapan orang-orang  bukan Kristen dalam beribadah.
Barangkali kita pun tidak lebih baik daripada anak-anak itu.  Kita pun mungkin masih lebih suka mencari sensasi-sensasi dalam ibadah daripada menikmati Allah dengan segala atribut-Nya.  Firman Tuhan yang kita pelajari hari ini mengingatkan kita agar kita tidak lagi bersikap seperti itu.  Bukankah kita telah memiliki banyak pengalaman bersama Allah di masa lalu?  Bukankah kita juga banyak mengenal janji yang Allah sampaikan di dalam Alkitab?  Firman Tuhan mengingatkan agar kita tidak melewatkan kenikmatan sejati dalam ibadah karena sesungguhnya kita sangat bisa dan sangat berhak mendapatkannya.  Pada waktu kita dapat sungguh-sungguh menikmati ibadah, kerohanian kita akan berkembang dan kita akan dikuatkan oleh janji-janji Allah dalam menjalani setiap tantangan hidup.  Kiranya Tuhan menolong kita untuk menikmati setiap ibadah yang kita ikuti. 

Amin